9.20.2009

Kepingan Nafas Ramadhan (1) >> I'TIKAF: Diam yang Menggerakkan

.

Bismillah. Kening Anda mungkin sedikit berkerut melihat judul di atas. Tapi semoga tidak. Kita temukan tiga kata kunci dari judul di atas, yakni I'tikaf, Diam, dan Gerak. Setelah membaca tulisan ini saya harap Anda tidak lagi mengerutkan dahi tanda bingung. Yang saya harapkan dari Anda setelah membaca tulisan saya ini adalah senyum manis penuh keyakinan, hati lapang, kedewasaan iman, pengamalan kebaikan, dan terakhir: saran, kritik, masukan yang membangun, buat saya, he... Tafadhal.
I’tikaf, secara bahasa, berarti tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Jadi, i’tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Itu kata ustadz2. Intinya, berdiam diri di masjid. Nah, sampi disini, sudah 2 kata kunci yang nongol. Lanjut...
Katanya sih, waktunya boleh kapan saja, namun Kanjeng Nabi saw menganjurkan di 10 hari terkhir bulan Ramadhan. Beliau sendiri melakukanya 10 hari penuh di bulan Ramadhan.
Aisyah, Umar bin Khattab, dan Anas bin Malik menegaskan hal itu, “Adalah Rasulullah saw. beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jadi kalau besok hari Raya, sekitar 10 hari yang lalu sampai hari ini kita disunnahkan mukim di masjid. Nggak boleh kaluar masjid kecuali kalau ada keperluan. Tapi bukan berarti kudu ninggalin dunia seluruhnya. Yang dilakukan di dalam masjid bukan hanya 'ibadahnya orang berpuasa', alias bobok aja, tetapi di dalam rumah Allah tu kita bisa zikir, tasbih, tahmid, doa, baca Quran, ndengerin kajian ustadz, dan aneka ibadah lain. Tapi ada hal aneh yang saya temukan.
Di masyarakat pada umumnya, i'tikaf ini terkadang kurang populer dan kurang diapresiasi. Waktu saya ngaji di kampung dulu, waktu kecil, belum diperkenalkan ibadah i'tikaf ini. Yang ada hanya maleman (dari kata: malam), yakni kita para santri bareng2 ke masjid Jami' di Alun2 untuk melaksanakan shalat tahajjud berjamaah setiap malam ganjil di 10 malam terakhir Ramadhan untuk mendapatkan Lailatul Qadar. Sampai di sana pun, kita shalatnya kuarng serius, lebih sering mejengnya, he...., maklumlah masih kecil.
Terus terang dan terang terus, saya baru tahu tentang ibadah i'tikaf tu pada waktu di bangku kuliah (kasihan deh gue..,,). Tapi alhamdulillah, saya dikenalkan iktikaf oleh murobbi pertama saya di kampus (semoga Allah selalu mencintai beliau, kapan jadi bapak mas?..he...). Nah sampai sekarang pun tidak banyak yang faham hal ini, bahkan para kader dakwah kampus sekali pun.
Padahal i'tikaf tu penting dan perlu. Inilah saat-saat paling asyik kita bisa "berduaan" dengan-Nya. Di sana ada diamnya mulut, harap, takut, senyum, doa yang tumpah ruah, perenungan, instropeksi, ilmu, ketenangan, kesyahduan, malu, dan aneka kemanfaatan yang lain. Di situ, kita mengingat kembali tujuan diciptakannya kita sebagai manusia. “Sesungguhnya tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu,” begitu firman Allah di QS. Az-Zariyat (51): 56.
Saya nukilkan perkataan Ibnu Qayyim, ulama yang ahli dalam menyelami ilmu jiwa manusia. Berikut kata-kata beliau, "I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati beri’tikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah.". Nah lo..
Inilah saat-saat kita berhenti sejenak. Kita seudah relati jauh berjalan di kehidupan ini. Banyak sudah yang kita lihat dan kita raih. Tapi tidak sedikit yang kita keluhkan: rintangan-rintangan yang menghadang, cobaan yang menguji kita, suara-suara gaduh yang memerahkan telinga kita, rutinitas harian yang mengurangi ketajaman hati kita, berita-berita miring tak jelas yang masuk ke otak kita bagai email2 sampah yang setiap hari memenuhi inbox kita, orang-orang yang ngobrol tanpa ilmu, dll.
Kita perlu berhenti sejenak, karena kita perlu membuka kembali peta perjalanan hidup kita, melihat jauhnya jarak yang kita tempuh dan sisa perjalanan yang masih harus kita lalui, menengok kembali hasil-hasil yang kita raih, menganalisa rintangan yang boleh jadi menghambat laju kehidupan kita, dan memandang alam sekitar agar selalu memberikan yang terbaik untuk kita.
Inilah saat dimana kita menata ulang isi hati kita, perlahan membersihkannya dari noda-noda yang membuat hati ini tak lagi putih, memperbarui komitmen kita bahwa kita akan tetap menjadi hamba Allah yang taat, meminta segala permintaan yang mungkin menurut kita terlalu jauh di depan mata kita, dan perenungan-perenungan mendalam akan konsep diri, tujuan hidup, tempat akhir perjalanan, serta perencanaan karya gemilang kita untuk-Nya. Saat-saat inilah yang saya yakin bisa menggerakkan kualitas kehidupan kita menjadi lebih baik.
Bila kita saksikan pemimpin-pemimpin besar seperti Mahatma Gandhi, Adolf Hitler, Ir. Soekarno, Umar bin Khattab, dan manusia agung yang sangat kita kasihi, Rasulullah saw, mereka semua punya kebiasaan yang sama: menyendiri dan melakukan perenungan yang mendalam.
Tapi sekali lagi, ini belum kita fahami secara mendalam. Banyak dari kita yang beralasan ini itu ketika waktu i'tikaf terbaik (10 malam terakhir Ramadhan). Husnuzzhan saya, semoga alasan2 kita memang lebih penting dari amalan sunnah ini, misal birrul walidain yang tan bisa diganti dengan orang lain, dll.
Semoga, kita bisa meningkatkan kuantitas dan kualitas i'tikaf kita. Pesan untuk saya pribadi, yang merupakan hasil renungan saya selama i'tikaf di Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq, Puncak Dieng Malang, selam lebih kurang 10 hari adalah:
- Wahai jiwa, hampirilah Allah dengan cinta, niscaya Allah akan mencintaimu.
- Siapa saja yang hidup hanya untuk sesuap nasi, mungkin itu saja yang didapatkan. Tetapi bagi siapa saja hidup hanya untuk Allah, insya Allah, segala yang terbaik bagi dirinya akan ia dapatkan.
- Mengkhatamkan Al Quran lewat tilawah (baca Al Quran) selama Ramadhan, 1, 2, 3, 4 kali, atau bahkan lebih, bukan merupakan prestasi apabila tidak ada niat dan ikhtiar sedikit pun untuk melaksanakan apa yang ia baca dalam kehidupan sehari-hari.
Dan masih bayak lagi tentunya,
Nah semua kata kunci sudah masuk ke dalam tulisan saya ini, semoga bermanfaat.

Puncak Dieng, Akhir Ramadhan 1430 H.
Saudaramu, mahatir.


0 comments

Posting Komentar